Perkembangan Islam di tlatah Ngayogyakarta Hadiningrat tentu tak bisa dipisahkan dari sebuah nama: Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Lahir di kampung Kauman pada 1868, tokoh yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis ini tumbuh dalam lingkungan kampung yang menjadi bagian tak terpisahkan dari masjid Gedhe Kauman.
Dua kali beliau pergi menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1890 dan tahun 1903. Perjalanan haji ini menjadi titik balik penting Muhammad Darwis dalam ikhtiyar dakwahnya kemudian. Begitulah memang seharusnya perjalanan ibadah haji dan umrah seorang mukmin. Ia bukan perjalanan “biasa” ; ia harus menjadi rihlah ilmiah dan ruhiyah yang membawa perubahan dalam menjalani kehidupan setelahnya.
Saat mukim di Makkah, Muhammad Darwis sempat belajar kepada sekian ulama, di antaranya Syaikh Muhammad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Nawawi Al-Bantani, Kyai Mas Abdullah Surabaya, Kiai Faqih Maskumambang, dll.
Seusai pulang dari haji yang kedua, Kiai Ahmad Dahlan yang bersahabat dengan Kiai Hasyim Asy’ari ini mendirikan pondok untuk menampung para pelajar dari luar daerah yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta.
Kelak, kita tahu, beliau mendirikan Muhammadiyah yang terus berkembang sepeninggal beliau. Dalam satu di antara pesannya, Kiai Ahmad Dahlan telah memprediksi hal tersebut.
“Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Karena itu aku senantiasa berdoa setiap saat hingga saat-saat terakhir aku akan menghadap kepada Ilahi Rabbi. Aku juga berdoa berkah dan keridlaan serta limpahan rahmat karunia Ilahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberi manfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang sejarah, dari zaman ke zaman.”